Makna Jumlah

Salah satu hal yang paling saya syukuri dari sekolah ke luar negeri adalah mengetahui rasanya menjadi minoritas.


Saya adalah seorang perempuan dengan tinggi sekitar 150 cm. Kulit saya sama seperti kebanyakan orang Indonesia, coklat gelap. Yang paling membuat saya tampak minoritas ketika ada di luar negeri adalah karna saya mengenakan jilbab. Kenapa saya bilang minoritas? Sungguh tak ada maksud mengecilkan jilbab atau pemakainya, tapi ini adalah kenyataan yang terjadi di manapun kita berada. Bukan tentang jilbabnya, tetapi tentang menjadi minoritas.


Mungkin sudah jadi kebiasaan manusia untuk memaknai segala sesuatu dengan melihat jumlahnya. Saya teringat kisah Rasulullah SAW ketika menghadapi suatu perang di mana jumlah tentaranya jauh lebih sedikit dari tentara musuh. Sebagian sahabat menjadi gusar dan bertanya-tanya mampukah mereka memenangkan pertempuran itu.


Kemudian ada cerita bagaimana ketika di Indonesia kita melihat orang-orang asing yang datang seperti sesuatu yang luar biasa. Bukan berarti secara harfiah luar biasa, tetapi karena kita tidak biasa melihatnya dan keberadaan mereka di sekeliling kita sungguh merupakan pemandangan yang berbeda. Mungkin, kalau kita tinggal di Jalan Jakarta, di Jakarta Pusat atau menetap di Bali, melihat orang-orang bule bersliweran bukanlah sesuatu yang "aneh", tetapi di tempat-tempat lain?


Kembali ke inti tulisan saya tentang minoritas. Manusia diciptakan berbeda-beda tidak hanya dalam bentuk fisik tetapi juga dalam pilihan hidup. Sejatinya, ketika berada di tempat kita berasal, kita tidak akan tampak berbeda. Kenapa? karna kita sama dengan semua orang yang ada di daerah asal kita. Dan di temapt itu kita bukanlah minoritas. Jika orang bule menetap di negaranya, dan saya yang orang Indonesia menetap di Indonesia, tentulah tak ada kaum minoritas, tak ada yang jumlahnya yang lebih sedikit dari yang lain.


Tetapi karena saya, yang orang Indonesia dengan pilihan hidup Islam dan memakai jilbab serta saat ini menetap di negara Barat, maka saya menjadi minoritas. Kenapa? karena penduduk pribumi secara fisik berbeda dari saya dan sebagian besar dari mereka tidak menggunakan jilbab. saya jadi tahu rasanya duduk di dalam kelas dan satu-satunya yang menggunakan jilbab. Saya tahu, setiap gerak-gerik saya, pilihan kata-kata saya, input saya dalam diskusi akan sangat diperhatikan dan tidak menutup kemungkinan akan diasosiasikan dengan penampilan saya.


Lalu apa intinya? Intinya bukan tentang jilbab. Intinya tentang bagaimana kita melihat minoritas. Saya hanya berkaca dari pengalaman saya bahwa menjadi minoritas itu sungguh tidak nyaman. Tidak nyaman ketika di jalan tiba-tiba ada orang yang melihat saya lantas berteriak "Where am I living?!!" Saya tidak tahu apa yang dia pikirkan, tapi saya tahu sayalah yang memicu kata-katanya. Tidak nyaman ketika saya mendengar cerita ada seorang perempuan yang menanggalkan jilbabnya karena tidak sanggup menahan ketidaknyamanan menjadi minoritas. Tidak nyaman ketika seorang disabilitas harus melepaskan mimpinya karena kaum mayoritas (baca: non-disabilitas) melihatnya sebagai sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan. Tidak nyaman ketika kaum mayoritas, yang karena kemayoritasannya, lalu merasa pantas membuat keputusan bagi minoritas.


Sungguh minoritas itu tidak enak. Dan sungguh, suatu hari kita semua akan merasakan menjadi minoritas. Jika kita tidak ingin merasakan pahitnya menjadi minoritas, maka berhentilah menjadi mayoritas yang bersikap pahit. Berhentilah bertidak semena-mena terhadap mereka yang berbeda dari kebanyakan orang. Bukankah perbedaan itu memang diciptakan oleh Tuhan? Lalu kenapa kita melihat perbedaan itu sebagai ancaman sehingga kita merasa perlu melakukan hal-hal yang tidak membuat nyaman bagi minoritas? Mayoritas dan minoritas itu hanyalah masalah jumlah, jika kita tidak bisa mempergunakan jumlah tersebut dengan sebaik-baiknya bagi kebaikan setiap orang, maka kita hanya akan menjadi seperti musuh tentara Rasulullah SAW yang jumlahnya beberapa kali lipat tetapi tetap kalah dalam pertempuran. Wallahu'alam bishawab.

Post a Comment

0 Comments