Alhamdulillah Ramadhan tahun ini dapet kesempatan merasakan menjalani puasa di negeri orang. Dengan jarak yang tidak terlalu jauh, ternyata banyak sekali perbedaan di antara negara asal saya dan negara tempat saya menetap saat ini.
Ramadhan tahun ini jatuh di bulan Juli yang bertepatan dengan musim dingin di Australia. Meski waktu subuh baru masuk pada pukul 6 pagi, tetapi udara yang cukup dingin menjadi kendala yang luar biasa (untuk saya siy begitu..). Seringkali, saya menyiapkan makanan sahur sambil tetap berselimut, melindungi tubuh saya dari ancaman masuk angin. Waktu puasa nya sedikit lebih pendek dari Indonesia, hanya 11,5 jam. Dimulai dari waktu subuh, kurang lebih pukul 6 pagi, hingga waktu maghrib, kurang lebih pukul setengah 6 sore. Di hari-hari tertentu kadang cuaca menjadi sangat ekstrim. Hujan dari pagi hingga pagi lagi, plus angin yang terasa semakin dingin. Udara yang dingin memang sangat menghindarkan kita dari kehausan, tetapi kalo boleh memilih, asli saya lebih memilih puasa di Indonesia, angeetttt...
Dilihat dari sektor bahan makanan, tidak ada istilah kenaikan harga atau kekurangan pasokan. Mau bulan puasa atau gak, bahan makanan tetep eksis, dan harga tidak mengalami perubahan. Mungkin yang mengalami sedikit kenaikan ya kangkung dan kacang panjang. Itu pun bukan karena memasuki bulan Ramadhan, tetapi karena memasuki musim dingin. Selebihnya aman sentosa. Hampir semua bahan makanan yang biasa kita konsumsi selama bulan puasa ketika di Indonesia, bisa diperoleh di Australia. Dan hebatnya lagi, gak hanya terbatas di bulan puasa, di bulan-bulan lain pun tetap ada, misalnya kolang-kaling atau buah atep.
Suasana berpuasa di negeri dengan mayoritas penduduk non muslim memang sering kali tidak terasa, tidak hanya di Australia tetapi juga bisa jadi di berbagai belahan bumi yang lain. Suasana Ramadhan baru akan terasa ketika kita berkumpul dengan sesama muslim baik dari negara sendiri maupun dari negara lain. Restoran dan kafe-kafe tetap buka seperti biasa, tidak ada yang berubah. Tidak ada suara adzan yang terdengar berkumandang kecuali aplikasi di gadget atau jika rumah kita dekat dengan masjid, itu pun samar-samar. Tidak terlihat orang berbondong-bondong melangkahkan kaki ke masjid sesudah berbuka untuk menjalankan sholat Isya dan tarawih berjamaah. Tidak ada suara mengaji yang terdengar dari pengeras suara masjid seperti yang biasa dilantunkan di masjid sekitar rumah kita. Tidak ada anak-anak dan remaja yang ramai bertabuhan keliling kampung menjelang waktu sahur demi membangunkan para ibu untuk menyiapkan makanan. Sepi. Ba'da maghrib, yang terlihat hanya mobil yang lalu lalang di jalan. Dan seiring malam menjelang jalanan pun semakin sepi.
Nah, untuk tarawih, tidak banyak masjid di Adelaide, mungkin tidak sampai lima jumlahnya. Tetapi biasanya di kampus-kampus diadakan juga sholat tarawih berjamaah. Yang saya tahu pasti ada ya di kampus saya, Flinders. Teman-teman pengurus persatuan mahasiswa Indonesia menyelenggarakan sholat tarawih berjamaah untuk umum, serta beberapa kegiatan untuk mengisi malam-malam Ramadhan. Pelaksanaan sholat tarawih di Masjid di Adelaide kurang lebih sama dengan yang biasa saya ikuti ketika di Indonesia. Beberapa perbedaan teknis tentu saja tetap ada, misalnya pada bagian sholawat di antara salam ketika sholat tarawih. Sejumlah masjid di Indonesia biasanya melantunkan sholawat bersama-sama di antara salam sepanjang sholat tarawih. Saya sendiri pernah mencicipi sholat tarawih di Masjid terdekat dari tempat saya tinggal, biasa dikenal dengan sebutan Masjid Marion (karena letaknya di wilayah Marion). Di masjid ini, tidak ada sholawat di antara salam. Selain itu, surat yang dibaca setelah Al Fatihah di setiap raka'at juga tidak terbatas pada surat-surat pendek. Akan tetapi, diurut dari Al Baqarah dan surat-surat berikutnya hingga khatam ketika Ramadhan usai. Seperti itu juga yang diceritakan oleh salah seorang jamaah yang saya temui. Sebagian besar ceramah disampaikan menggunakan bahasa Arab, akan tetapi pihak Masjid menyediakan headphone (peralatan audio) untuk mendengarkan terjemahannya bagi jamaah yang kurang memahami bahasa Arab. Masjid Marion ini memiliki kapasitas yang cukup besar. Bangunannya terdiri dari dua lantai, dengan lantai bawah untuk jama'ah laki-laki dan lantai atas untuk jama'ah perempuan. Meskipun letaknya di pinggir jalan dan cukup strategis, masjid ini tidak memiliki halaman parkir, sehingga jama'ah biasa menyimpan kendaraannya di depan rumah warga sekitar.
Kurang lebih begitulah suasana berpuasa di tempat saya menetap saat ini. Masih banyak hal yang bisa dieksplor dan dibagikan. Untuk cerita seputar Idul Fitri, tunggu saja tanggal mainnya. Yang jelas, selamat menikmati Ramadhan, selamat meraup berkah seluas-luasnya.
0 Comments
Do leave a comment, a decent one.