Selalu menyenangkan untuk saya jika materi kuliah diberikan dalam bentuk tontonan, misalnya film atau video klip. Salah satu materi yang diberikan kali ini adalah mengenai sex dan disability (Disabilitas dan seksualitas).
Banyak penelitian menyebutkan bahwa kebanyakan masyarakat umum melihat orang dengan disabilitas sebagai aseksual, yaitu antara tidak memiliki keinginan seksual atau tidak mampu melakukan interaksi seksual. Sebelum berbicara lebih jauh, perlu dipahami bahwa interaksi seksual dalam konteks artikel ini bukan hanya berarti hubungan intim (aktivitas seksual), tetapi lebih bagaimana mengenali konsep diri secara fisik, mengenali bagian-bagian tubuh yang sensitif terhadap sentuhan, dan bagaimana reaksi tubuh terhadap sentuhan-sentuhan tersebut.
Jangan membayangkan orang dengan disabilitas yang saya rujuk di sini hanya orang dengan disabilitas netra, rungu wicara atau disabilitas daksa. Tetapi saya ingin berbicara lebih jauh lagi. saya ingin melibatkan orang yang memiliki keterbatasan fisik yang sangat ekstrim, misalnya seluruh tubuhnya tidak bisa bergerak tetapi syarafnya tetap berfungsi dan otaknya pun berfungsi dengan sangat baik. Saya ingin berbicara tentang bagaimana mereka yang tidak mampu menggerakkan tubuhnya tetap bisa merasakan pengalaman seksual, seperti sentuhan, rangsangan, maupun sensasi-sensasi lainnya.
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, dalam banyak penelitian, ditemukan bahwa masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa orang dengan disabilitas adalah aseksual, atau tidak memiliki keinginan seksual atau tidak mampu melakukan aktivitas seksual. Pada kenyataannya, bahkan orang dengan tingkat disabilitas yang tinggi (atau kondisi disabilitasnya terbilang parah) sesungguhnya memiliki keinginan seksual, dan mampu beraktivitas seksual sesuai dengan kemampuannya.
Salah satu film yang diberikan dalam topik Sex and Disability kali ini berjudul Scarlet Road yang bercerita tentang perjalanan seorang pekerja seksual yang memberikan pelayanan seksual untuk orang dengan disabilitas. Pada akhirnya tokoh pekerja seksual ini menjadi aktivis disabilitas dan menyelesaikan studi magisternya di salah satu universitas di Australia dan fokus pada advokasi bagi orang dengan disabilitas.
Salah satu jenis pelayanan yang diberikan oleh tokoh film tersebut adalah tidur dengan kliennya. Aktivitas tidur ini benar-benar dalam artian tidur. Tidak ada aktivitas lainnya. Sang klien hanya menginginkan untuk bisa terbangun di sebelah seorang perempuan selayaknya ia memiliki pasangan. Maka hal itulah yang diberikan oleh tokoh pekerja seksual tersebut. Sama sekali tidak ada aktivitas seksual di dalamnya, benar-benar hanya tidur. Mungkin bagi kebanyakan orang pada umumnya, kegiatan seperti ini tampak seperti kesia-siaan, tetapi tentu saja akan sangat berbeda ketika kita ada di posisi orang yang tidak pernah memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan lawan jenis, apalagi memiliki pasangan, atau menikah. Tentu akan tampak seperti tidak mungkin untuk bisa terbangun di sebelah orang lain seperti kita memiliki pasangan. Untuk itu lah, tokoh tersebut bersedia memberikan layanan ini.
Selain Scarlet Road, ada lagi film lain yang juga menceritakan tentang perjuangan seorang laki-laki dengan disabilitas dalam memahami makna seksualitas. Film ini berjudul The Sessions. Tokoh utama dalam film The Sessions ini adalah seorang laki-laki dengan tingkat disabilitas yang terbilang tinggi karena ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Ia bahkan harus bernapas menggunakan alat bantu berupa selang oksigen, atau kadang-kadang ia terbaring di dalam tempat tidur berbentuk tabung yang memudahkan ia bernapas. Sebut saja Tom.
Tom tidak pernah sebelumnya memiliki pengetahuan seksualitas, termasuk mengenali tubuhnya dan bagian-bagian yang sensitif. Dalam film ini, Tom berkenalan dengan seseoang yang berprofesi sebagai terapis. Pelayanan terapi yang diberikan untuk Tom adalah mengenali bagian tubuhnya, bagian-bagian yang sensitif, termasuk bagaimana merasakan rangsangan seksual dan orgasme. Perjalanan panjang yang dilewati Tom untuk mengikuti terapi ini membuatnya lebih percaya diri ketika menghadapi orang lain, khususnya lawan jenis. Hal ini mungkin tidak pernah terlintas di kepala kita, orang yang tidak mengalami situasi seperti Tom. Akan tetapi setelah mengikuti terapi ini, Tom bahkan beberapa kali memiliki kekasih, meski dalam hubungan mereka tidak melulu melibatkan aktivitas seksual.
Inilah yang ingin saya angkat, bahwa orang dengan disabilitas bukanlah orang yang tidak memiliki keinginan seksual atau tidak mampu beraktivitas seksual. Orang dengan disabilitas sama-sama memiliki keinginan dan kemampuan seksual seperti orang tanpa disabilitas, yang membedakan hanya cara bagaimana mereka melakukannya. untuk di Indonesia, hal-hal seperti ini mungkin masih dianggap tabu, tetapi sesungguhnya ini bagian penting dalam kehidupan seluruh manusia, termasuk orang dengan disabilitas yang juga perlu diperhitungkan. Bukan hanya tentang pengakuan bahwa orang dengan disabilitas memiliki keinginan dan kemampuan seksualitas, tetapi juga pemenuhan hak dan advokasi. Bukankah kita sering melihat banyak orang dengan gangguan mental di dalam rumah sakit kejiwaan menghadapi persoalan berkaitan dengan seksualitas, atau perempuan dengan disabilitas mental harus disterilisasi agar tidak terjadi kehamilan? Apakah kita akan menutup mata dengan itu semua?
Catatan: Saya tidak mendukung adanya praktik pekerja seks komersil melalui tulisan ini, sama sekali tidak. Saya hanya ingin mengangkat pengalaman orang dengan disabilitas tentang kehidupan seksual, yang dalam cerita yang saya angkat bersinggungan dengan pekerja seks komersil.
0 Comments
Do leave a comment, a decent one.