To be honest, saya tidak membayangkan resikonya, yang ada di kepala saya hanya "I'll take anything."
Who knew, ternyata jalan-jalan bersama mereka memberi saya banyak pelajaran soal aksesibilitas transportasi dan fasilitas umum, khususnya di kota London.
Prinsip inklusi pada fasilitas publik sebenernya tidak hanya ditujukan untuk disabled people aja, tapi untuk semua orang termasuk di antaranya ibu hamil, anak-anak, lansia. Bahkan dulu ketika saya mengikuti Empowerment Project di Korea Selatan bersama Siloam Centre for the Blind dan Korea Disabled People's Development Institute (KODDI) pada tahun 2017, mereka menyampaikan bahwa inklusivitas dalam hal aksesibilitas fasilitas publik ditujukan juga bagi masyarakat umum, misalnya bagi perempuan yang menggunakan high heels agar mereka bisa bebas menggunakan heels di jalan tanpa khawatir heelsnya yang runcing tersangkut penutup selokan.
Ekspektasi saya untuk negara yang sudah maju seperti Inggris dengan pergerakan disabilitas yang sudah jauh lebih lama dari Indonesia, tentu saja diharapkan lebih banyak mengakomodir aksesibilitas dan inklusivisitas secara lebih luas. Betul memang sudah lebih banyak yang diakomodir, tetapi masih banyak yang belum tertangani dengan baik.
London adalah crowded city, pengguna transportasi umumnya banyak, termasuk pengguna kursi roda, scooter, maupun Ibu yang membawa bayi menggunakan stroller. Tetapi yang menarik, bus di London masih merupakan bus standar yang alokasi untuk pengguna kursi roda hanya disediakan dua untuk masing-masing bus. Hal ini yang menjadi perhatian saya selain stasiun kereta di banyak tempat yang masih belum aksesibel.
Terkait alokasi pengguna kursi roda tadi, semisal ada dua orang Ibu yang membawa stroller menaiki bus yang belum ada pengguna kursi rodanya, lalu kemudian di pemberhentian berikutnya ada pengguna kursi roda akan naik, maka pengguna stroller harus mengalah. Salah satunya adalah dengan turun dari bus dan memberikan alokasi ruang untuk pengguna kursi roda. Paling tidak itu pengalaman teman saya yang memilih turun dari bus bersama anaknya dan stroller yang digunakan demi mengakomodir pengguna kursi roda. Bukan salah pengguna kursi rodanya, tapi alokasi untuk kursi roda dan stroller di dalam bus yang ternyata masih sangat terbatas.
Supposedly, setiap orang punya hak yang sama untuk menggunakan fasilitas publik. Prinsip antri dan bergantian sejatinya tidak lantas membuat penumpang yang menggunakan alat bantu, seperti kursi roda atau stroller, harus menunggu jauh lebih lama, apalagi jika dibandingkan dengan yang tidak memerlukan alat bantu. Pengalaman saya kemarin, kami harus menunggu lebih dari 20 menit untuk mendapatkan bus yang alokasi pengguna kursi roda nya masih kosong untuk rute bus yang datang setiap 3 menit sekali.
Ada banyak single mother yang membawa bayi dengan stroller. Bisa dibayangkan ketika mereka lelah pulang dari aktivitas seharian lalu menjemput bayinya dari day care, tetapi di perjalanan masih harus menunggu bus yang kosong area kursi rodanya hingga setengah jam karena kapasitas bus untuk stroller dan pengguna kursi roda sangat terbatas. Keadaan yang memaksa untuk memilih antara pengguna kursi roda atau Ibu dengan bayi dan stroller. Padahal disabilitas dan Ibu dan anak kecil merupakan bagian dari kelompok vulnerable, tetapi pada kenyataannya harus berjuang lebih keras di jalanan kota London dibandingkan mereka yang tidak tergolong rentan. Sementara kita yang tidak menggunakan kursi roda dan tidak membawa bayi dan stroller, bisa menaiki bus dengan bebas dan dalam jumlah yang banyak.
Sama halnya dengan stasiun kereta di London dan sekitarnya yang belum semua aksesibel. Tidak semua stasiun kereta menyediakan lift agar bisa diakses pengguna kursi roda maupun Ibu yang membawa bayi dengan stroller. Mencari lift di stasiun yang sudah aksesibel pun bukan perkara mudah. Keluar dari 1 lift seringnya harus keliling dulu untuk ketemu dengan lift lain yang menghubungkan ke peron arah kereta yang lain. Hal-hal seperti ini yang sering kita take for granted karena kita tidak mengalami sehari-hari.
Bahkan ketika kami mengunjungi ladang bunga Lavender dan bunga matahari di Hertfordshire, sebuah county kecil di pinggiran kota London, kami tidak menemukan sama sekali lift di stasiun Arlesey, stasiun tempat kami turun. Walhasil, saya dan teman saya harus mengangkat stroller dengan anaknya masih ada di dalam stroller untuk menaiki jembatan penyebrangan di atas rel, seperti foto di bawah. Untung ada orang baik yang membantu kami mengangkat stroller saat menuruni jembatan tersebut.
(foto diambil dari Google Map) |
Melihat London, apakah kemudian jadi memaklumi carut marut aksesibilitas fasilitas umum di Indonesia?
Bukan itu intinya, tetapi menjadikan London sebagai contoh untuk kemudian bagaimana seharusnya menyediakan akses transportasi dan fasilitas umum bagi semua, termasuk Ibu dan anak yang masih menggunakan stroller. Betapa pekerjaan rumah Indonesia masih sangat banyak. Sebelum memikirkan menambah alokasi untuk kursi roda dan stroller di setiap bus, mungkin perlu terlebih dahulu memikirkan bagaimana pengguna kursi roda, scooter, dan troller bisa mengakses bus dan halte bus.
Tetapi alternatif menyediakan bus khusus stroller dan kursi roda saja justru menghilangkan prinsip inklusivitas untuk semua. Seperti bus sekolah khusus siswa disabilitas yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi Jakarta (https://difabel.tempo.co/read/1823057/5-bus-sekolah-khusus-ini-disediakan-pemprov-dki-bagi-siswa-difabel). Itikadnya baik, kesannya wow, padahal menghilangkan prinsip inklusivitas dengan kembali mempraktekkan segregasi antara disabilitas dan non disabilitas. Lantas bagaimana masyarakat mau semakin mengenal disabilitas dengan baik kalau setiap kebijakan selalu eksklusif alias tersegregasi?
0 Comments
Do leave a comment, a decent one.